Cap Go Meh di Pontianak dan Singkawang yang Bukan Maen
Purnama Cap Go Meh difoto dari tengah kota Pontianak |
Purnama yang paling sempurna adalah purnama yang muncul di
malam ke-15 setelah tahun baru. Oleh karenanya, ia dirayakan. Malam ke-15 ini
pula merupakan petanda berakhirnya perayaan tahun baru Imlek. Orang-orang
Tionghua memaknai malam ini secara spesial. Ia adalah Cap Go Meh! Cap Go Meh dalam
dialek Hokian secara harfiah berarti Malam ke-15.
Aku pun tak mau ketinggalan merayakan Cap Go Meh. Aku ambil
cuti dari kantor untuk bergegas ke Pontianak untuk seterusnya ke Singkawang,
untuk larut dalam keriuhan kota merayakan Cap Go Meh. Di Pontianak dan
Singkawang, Cap Go Meh dirayakan secara begitu meriah, dengan arak-arakan
ratusan tatung berkeliling kota. Festival ini sudah secara turun temurun dilaksanakan
dan menjadi magnet ribuan turis untuk ke sana.
Aku pergi sendirian dengan bekal seadanya, tiket pesawat,
kaca mata hitam dan buku Amoy. Buku Amoy terbitan Kompas ditulis oleh dosenku
di kampus dulu, Mia Ye. Buku ini bercerita hasil penelitiannya tentang
kehidupan orang-orang Tionghua di Singkawang yang dililit begitu erat oleh
kemiskinan. Kemiskinan bagi anak perempuan Tionghua di Singkawang berarti
mereka harus siap dijual ke luar negeri dengan kedok pernikahan. Modus
utamanya, para makelar datang ke orang tua si anak perempuan yang menjadi
target. Sejumlah uang mahar disiapkan oleh si makelar, lengkap dengan foto
lelaki tampan calon suami si anak perempuan tersebut dan cerita tentang
kebahagiaan dan kekayaan bila pernikahan ini terjadi. Setelah prosesi lamaran
tersebut, anak perempuan itu pun diterbangkan ke negara si calon suami.
Sesampainya ia di sana, bukan lelaki tampan seperti di foto yang ia temui,
banyak dari mereka yang akhirnya menjadi budak yang disuruh untuk mengurusi
anggota keluarga yang disabilitas.
Kembali ke perjalananku, Aku terbang dengan Garuda Indonesia
ke Pontianak tanggal 3 Maret, dua hari sebelum Cap Go Meh. Ini perjalanan
pertamaku ke Kalimantan. Aku mendarat dengan mulus di Bandar Udara Supadio.
Bandara ini lebih kecil daripada Bandara Polonia di Medan yang kini sudah
ditutup untuk umum. Aku menginap di Hotel Garuda, di tengah kota Pontianak. Aku
kehabisan kamar di Singkawang. Semua hotel, motel, sampai kos-kostan dan home
stay di Singkawang terisi penuh!
Malam pertama di Pontianak, aku tidak melakukan banyak hal,
hanya jalan-jalan menyusuri kota Pontianak dan makam malam di sebuah rumah
makan yang menyajikan Kwe Cap, makanan khas Tionghua Pontianak. Ini menjadi Kwe
Cap pernah yang masuk ke perutku. Rasanya enak!
Keesokan harinya, aku kembali menyusuri jalan-jalan
Pontianak sampai terhenti di Ayani Mega Mall. Mall ini cukup besar dan lengkap.
Di mall ini, aku makan siang di Pondok Ale-Ale dengan menu Kakap Asam Pedas dan
Pakis Asap. Dari Mall Ayani, aku lanjutkan perjalanan ke Museum Kalbar. Museum
ini aku rasa masih harus dilengkapi lagi karena sedikit sekali literatur di
dalamnya. Malam harinya aku tumpah ruah di Festival Kuliner Imlek Pontianak di
sepanjang jalan Diponegoro.
Ayani Mega Mall, Pontianak |
Menyusuri jalanan, mengamati bentuk rumah dan aktivitas
warga kota merupakan kesenangan sendiri bagiku. Aku sejak lahir, hidup di kota
dengan aspal dan riuh rendah keramaian kota sehingga tidak begitu tertarik
untuk liburan ke gunung atau ke pantai. Sebagai anak komunikasi, aku juga
diajarkan bahwa setiap bentuk landmark (simbol penanda kota) adalah pesan
tentang kebudayaan kota tersebut. Bentuk-bentuk rumah, pola jalan juga adalah
pesan. Mengartikan pesan itu merupakan tantangan tersendiri.
Festival Kuliner Imlek, Pontianak |
Hari ketiga, 5 Maret adalah puncak perayaan Cap Go Meh, aku
memesan Antya Taxi untuk mengantarkan aku ke Singkawang. Jarak
Pontianak-Singkawang kurang lebih 150 km dan biasa ditempuh 3 jam perjalanan
darat. Aku dijemput di hotelku jam 3 pagi untuk menghindari kemacetan. Aku tiba
di Singkawang pukul 5 pagi, masih terlalu pagi untuk Festival Cap Go Meh. Aku
pun jalan-jalan mengitari kota itu. Aku tertegun melihat Tugu Naga Emas Singkawang
yang berdiri kokoh di tengah kota.
Tugu Naga Mas Singkawang |
Kira-kira pukul 7, aku melipir ke panggung utama, aku duduk
dengan tenang di tribun penonton bersama ratusan orang menunggu pawai ini
dimulai. Di panggung inilah nantinya, arak-arakan tatung akan dimulai. Jam 9
pagi, acara dimulai dengan seremonial. Ada Gubernur Kalimantan Barat dan
Walikota Singkawang yang memberi kata sambutan. Sejam kemudian, yang
ditunggu-tunggu akhirnya mulai juga, dan ini dia pawai tatung di festival Cap
Go Meh Singkawang!
Ada sekitar 400 tatung mengikuti festival ini. Tatung dalam
bahasa Hakka berarti orang yang dirasuki roh leluruh atau roh dewa. Para tatung
ini tidak merasakan sakit saat tubuhnya digorok. Bukan maen pikirku saat
menyaksikan sendiri para tatung ini. Aku bisa berkata banyak selain takjub
dengan kebudayaan yang sedang aku saksikan di depanku ini.
Pontianak dan Singkawang tepat berada di garis Kathulistiwa,
suhu di siang hari bisa begitu panas. Aku lupa membawa sun block dan alhasil
kulitku perih serasa terbakar. Selesai festival, aku mendinginkan badan di
Singkawang Grand Mall sembari menunggu jemputan Antya Taxi. Antya Taxi
menggunakan mobil avanza yang bisa memuat 7 orang, masing-masing perjalanan
dikenakan biaya 100 ribu. Sembari
menunggu jemputan, aku duduk santai dengan 3 gelas jus kedondong. Bukan maen
rasanya. Malam harinya aku sudah kembali ke Pontianak setelah melewati 3,5 jam
perjalanan yang melelahkan.
Hari keempat, aku fokus untuk mencari oleh-oleh untuk dibawa
pulang ke Latuharhari. Di Pontianak, ada komplek PSP, tempat berburu oleh-oleh.
Ada banyak yang bisa dijadikan oleh-oleh, mulai dari manisan lidah buaya, stik
talas sampai manik-manik. Malam harinya, aku mencari kepiting untuk makan
malam. Sekedar informasi tambahan, kepiting-kepiting hasil tangkapan di malam
Cap Go Meh adalah kepiting juara. Sinar purnama yang begitu terang di Cap Go
Meh berhasil membuat kepiting-kepiting ini muncul ke permukaan.
Salah Satu Tatung dalam Festival Cap Go Meh, Singkawang |
Ramainya pawai tatung |
Tatung tidak hanya laki-laki, perempuan pun bisa menjadi tatung |
Sama halnya dengan mengamati landmark, menikmati kuliner
juga merupakan kesenangan. Kuliner juga merupakan pesan. Dari kuliner, kita
bisa mengetahui kebudayaan macam apa yang ada di baliknya. Di Kalimantan yang
begitu kuat kebudayaan sungai, hampir tidak ada ruang untuk menu ikan lele.
Menu Ikan lele yang ada di Pontianak sekarang tak lain adalah kuliner yang
dibawa oleh para transmigran dari Jawa.
Hari kelima, aku kembali ke Jakarta! Sungguh perjalanan yang menyenangkan, aku
akan kembali lagi tahun depan tentu dengan persiapan yang lebih matang! Sampai
bertemu lagi, Pontianak dan Singkawang!
Komentar
Posting Komentar