Kampanye 16 HAKTP: Catatan dari Kampus Untirta
Sultan Ageng Tirtayasa dalam sejarah mainstream dituliskan
sebagai sosok pemimpin dari Banten yang menolak kesewenang-wenangan VOC
dalam memonopoli hasil bumi yang dihasilkan rakyat Banten. Beliau
memimpin Banten di tahun 1600-an, bersamaan dengan masa awal-awal
kedatangan VOC ke Nusantara. Ciri utama dalam kepemimpinan Sultan Ageng
Tirtayasa adalah kecintaannya pada pendidikan dan perdagangan bebas.
Banten menjadi pelabuhan bebas, dan pusat pendidikan di Tanah Jawa
utamanya pendidikan agama Islam.
3 abad setelahnya,
Nama Sultan Ageng Tirtayasa diabadikan sebagai nama Universitas di
Banten. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) berdiri di Kota
Serang dengan harapan mampu menjadi pusat pendidikan di Indonesia,
setidak-tidaknya di Tanah Banten. Aktivitas-aktivitas akademik
digalakkan untuk mencapai cita-cita tersebut, salah satunya adalah Seminar: Perempuan dan Hak Asasi Manusia
yang diinisiasi oleh Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Untirta
(17/12). Seminar tersebut merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) yang menghadirkan teh Neng Dara
Affiah sebagai pemateri.
Seminar berjalan menarik,
karena banyak yang tidak sepakat tentang konsep Hak Asasi Manusia dan
Perempuan. Ada sebagian lagi yang sepakat, tapi sepertinya salah
mengejawantahkan konsep tersebut. Hal-hal tersebut membuat dialektika
seminar ini sangat layak untuk diikuti.
Mengutip perkataaan ketua Program Magister Ilmu Hukum Untitra yang kira-kira begini:
"Saya
rasa perjuangan untuk kesetaraan perempuan harus ditingkatkan lagi.
Tidak banyak posisi strategis yang diisi oleh perempuan. Untirta
termasuk berhasil, Purek II diisi oleh Perempuan. Hal ini karena
Perempuan lebih pintar mengatur keuangan dan rumah tangga. Kalau Purek
II laki-laki, biasanya meja-meja tamu itu kosong. Kalau Perempuan,
meja-meja kosong itu diisi dengan air minum, buah-buahan dan lain-lain.
(sebagai informasi: Purek II mengurusi administrasi dan keuangan)."
Meletakkan
Perempuan ke dalam posisi yang secara "kodrati" ia ditempatkan oleh
masyarakat, aku rasa bukan hal yang cukup bijak dan tidak cukup
revolusioner.
Cita-cita Sultan Ageng Tirtayasa
menjadikan Banten sebagai pusat pendidikan sepertinya masih harus
menempuh jalan panjang, dan semoga tidak tersesat dalam perjalanan
panjang ini ...
Komentar
Posting Komentar