17 Tahun Sudah dan Mereka Masih Disangkal
Nisan Korban Tragedi Mei di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur |
Usia ke-17 dalam banyak tradisi
diperingati sebagai titik awal kedewasaan yang biasanya direkatkan dengan
berbagai atribusi kebebasan dan kemandirian. Di usia ini, seseorang dianggap
sudah menjadi manusia yang berkesadaran penuh dan mampu bertanggung jawab. Di
usia ini pulalah, Kartu Tanda Penduduk (KTP) diterbitkan sebagai tanda ia telah
menjadi subjek. Maka, tak heran bila ulang tahun ke-17 dirayakan dengan penuh
suka cita melebihi ulang tahun di rentang usia lainnya. Orang-orang menamainya sweet seventeen.
Masih membahas usia yang ke-17. Kebebasan
dan kemandirian adalah dua hal yang paling dekat dengan orang-orang di usia
ini. Mereka yang telah sampai di usia ini, menolak untuk dikategorikan lagi
sebagai anak kecil. Mereka menuntut kebebasan. Mereka ingin bebas menyuarakan
pendapatnya. Mereka ingin bebas dalam tiap langkahnya. Mereka ingin bebas dari
kebungkaman. Di sisi lain, kemandirian menjadi corak yang ikut mewarnai usia
ke-17 ini. Kemandirian menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan dari kebebasan.
Kebebasan menutut adanya syarat ketidakketergantungan pada subjek lain.
Cerita lain tentang sweet seventeen, bulan Mei nanti adalah
usia ke-17 bagi reformasi di Indonesia. Reformasi digulirkan di Mei 1998 untuk
mengakhiri rezim orde baru di bawah pemerintahan otoriter Soeharto. Bicara
tentang reformasi Mei 1998, ingatan kita pasti akan melambung pada naiknya
harga-harga, yang disusul oleh aksi demontrasi besar-besaran mahasiswa, yang
kemudian disikapi pemerintah dengan menembak dan menculik para aktivis, yang
pada akhirnya membuat Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden setelah
berkuasa selama 32 tahun.
Narasi besar reformasi menyisakan
luka bagi mereka yang tuturnya tak pernah dipercayai. Tutur-tutur mereka
dianggap omong kosong para pencari tenar. Tutur-tutur mereka disangkal. Mereka
adalah para korban kekerasan seksual tragedi Mei 1998! Tak ada angka pasti
berapa jumlah mereka. Setidaknya dari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF),
ada 85 orang1 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Mayoritas mereka
beretnis Tionghoa. Mari kesampingkan
angka dan statistik, satu korban tetap adalah korban, dan menjadi tanggung
jawab negara untuk melindungi tiap-tiap warga negaranya tanpa terkecuali.
Korban kekerasan seksual dalam
Tragedi Mei 1998 tak ada yang bersaksi di depan publik. Keengganan mereka tak
pelak menjadi alasan kuat untuk menyangkal adanya kekerasan seksual selama
tragedi itu. Keengganan mereka sendiri bukan tanpa alasan. Tak ada jaminan
keselamatan dari negara membuat mereka bungkam. Kita pun harus menghormati
korban dengan tidak memaksanya muncul ke publik. Setidaknya ada 7 faktor
mengapa korban kekerasan seksual Tragedi Mei 1998 enggan bersuara2,
yaitu:
- Di tingkat personal, korban kehilangan kepercayaan pada orang lain, korban kehilangan harga dirinya dan tidak mau diingatkan kembali kepada peristiwa yang terlalu menyakitkan baginya itu. Ini semua merupakan trauma yang dialami korban.
- Negara masih belum secara tegas menindaklanjuti rekomendasi pemenuhan hak korban Tragedi Mei 1998, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual.
- Hukum yang berlaku belum mendukung terjaminnya pemenuhan hak korban atas keadilan, termasuk didalamnya, terbatasnya definisi tentang perkosaan dan tidak adanya jaminan perlindungan bagi saksi dan korban.
- Sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa berbagai peristiwa kerusuhan yang menargetkan komunitas Tionghoa tidak pernah diungkap secara tuntas.
- Sikap masyarakat terbelah antara sikap mempercayai, sikap menolak, sikap ragu-ragu dan sikap apatis tentang terjadinya kekerasan seksual di Mei 1998.
- Adanya budaya bahwa perempuan perlu dilindungi dan bahwa perkosaan adalah nasib sial, karma, membawa aib bagi perempuan korban kekerasan seksual dan keluarga.
- Sikap keluarga sebagai lingkungan terdekat perempuan korban kekerasan seksual telah menentukan respon yang harus diikuti korban, seperti pindah atau tidak, bicara atau tidak, termasuk dengan pendamping korban dan ganti identitas atau tidak.
17 tahun reformasi, 17 tahun
korban kekerasan seksual disangkal, 17 tahun pula berdiri Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tempat aku bernaung sekarang.
Komnas Perempuan lahir sebagai putri sulung reformasi. Ia adalah lembaga negara
pertama yang berdiri pasca reformasi digulirkan. Komnas Perempuan lahir atas desakan
kelompok masyarakat sipil yang menuntut negara bertanggung jawab atas maraknya
kekerasan seksual yang terjadi dalam tragedi itu. Komnas Perempuan adalah bukti
paling sahih adanya kekerasan seksual di tragedi Mei 1998.
Deretan penyangkalan tak hanya
datang dari masyarakat, pejabat negara pun banyak yang menyangkal korban
kekerasan seksual. Salah satunya adalah Pangdam TNI waktu itu, Wiranto. Wiranto
dalam keterangannya menolak adanya fakta bahwa ada perkosaan massal dalam
huru-hara Mei 1998. Ia menyebutkan bahwa ia telah menyusuri rumah sakit dari
Jakarta sampai ke Penang, dan tidak menemukan adanya korban kekerasan seksual.
Padahal, justru sebagian besar data temuan TGPF berasal dari Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) yang menangani korban.
Kealpaan juga datang dari
Presiden B.J. Habibie yang menandatangani kepres pembentukan Komnas Perempuan.
Di peringatan ulang tahun Komnas Perempuan ke-16, Beliau mengaku tidak ingat
pernah mengeluarkan keppres itu. Pasca diingatkan, Presiden Habibie malah lebih
sering menyebut peran domestik seorang Ibu dari pada fakta bahwa ada perkosaan
massal yang melatarbelakangi pembentukan Komnas Perempuan.
17 tahun bukanlah waktu yang
sebentar, ini adalah waktu yang sangat lama untuk mengungkap siapa dalang di
balik Mei 1998. Ini adalah waktu yang sangat lama bagi korban yang menunggu
keadilan. Banyak para korban dan pendamping korban yang sudah pesimis terhadap
pengungkapan tragedi ini, seperti yang dituturkan oleh K1, korban percobaan
perkosaan3:
“ ... Mereka yang mengalami
langsung akibat dari kerusuhan itu pun sudah semakin berkurang bersemangat
dalam memperingati peristiwa Mei. Saya sendiri tidak pernah ikut kegiatan
memperingatinya. Pertama, karena saya tidak tahu kegiatan ini ada di mana.
Kedua, untuk apa juga? Mungkin saya orang yang pesimis degan tidak lanjut kasus
ini oleh pemerintah?” (K1, korban percobaan perkosaan)
Mengingat menyisakan duka yang
mendalam. Melupakan bisa jadi membuat duka semakin dalam karena melupakan
berarti memberi ruang kemungkinan tragedi serupa akan terjadi di masa yang akan
datang.
Jelang usianya yang ke-17 tahun,
sekiranya bolehlah kita berharap bahwa 2015 ini, merupakan titik awal
kedewasaan dan kemandirian reformasi Indonesia yang dimulai dengan adanya
pengakuan terhadap korban kekerasan seksual yang merupakan bagian dari
pemulihan korban. Rekonsiliasi bangsa dimulai dari adanya pengakuan! Jangan
biarkan, korban disangkal lebih lama lagi ....
*1: Seri Dokumen Kunci
Tim Gabungan Pencari Fakta
*2:Laporan dokumentasi
pelapor khusus Komnas Perempuan tentang kekerasan seksual Mei 1998 dan
dampaknya: Saatnya Meneguhkan Rasa Aman
*3: Laporan
dokumentasi pelapor khusus Komnas Perempuan tentang kekerasan seksual Mei 1998
dan dampaknya: Saatnya Meneguhkan Rasa Aman
Komentar
Posting Komentar