Ho Wan Moy, Sang Srikandi Indonesia

Ho Wan Moy dalam buku Tionghoa dalam Keindonesiaan

Sore santai di minggu lalu, ceritanya aku meneruskan baca buku Tionghoa dalam Keindonesiaan yang enggak selesai-selesai dibaca. Di salah satu bab, aku menemukan sosok Ho Wan Moy. Duh Gusti, mau mbrebes mili ....

Didi Kwartanada dalam buku Tionghoa dalam Keindonesiaan, mengutip Majalah Suara Baru edisi Maret-April 2008 yang mengemukakan sosok Ho Wan Moy, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tika Nurwati.

Ho Wan Moy berasal dari Jawa Tengah. Sejak usia 13 tahun terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebelum memberanikan diri terjun ke kancah pertempuran, perempuan yang dipanggil "Amoy" oleh para tentara Republik ini harus mengalahkan trauma dan ketakutan saat seorang laki-laki mengancam membunuhnya karena ketionghoaannya. 

Lisa Soeroso dalam blognya mengutip trauma Ho Wan Moy,  

"Saya sedang jaga warung, masih sangat muda," kenangnya. Itulah pertama kali ia merasakan ketakutan yang sangat. Sebuah samurai Jepang bergerak-gerak di depan wajah pucatnya. "Kamu anak Cina! Kamu harus dibunuh!" kata laki-laki yang lalu mengancamnya dengan kisah pemerkosaan dan pembantaian warga Tionghoa di daerah Batu Lawang. "Saya lari, ngumpet di kamar berhari-hari. Tidak mau keluar!"

Keluarga Ho lalu kedatangan rombongan pejuang yang mengungsi dari Jakarta, yang dipimpin oleh Herman Sarens Soediro, yang kemudian menjadi petinggi Angkatan Darat yang cukup disegani. Herman selaku komandan Kompi Tentara Pelajar Siliwangi memberi pesan kepada Ho Wan Moy, 

"Kamu tidak boleh takut. Walaupun kamu perempuan dan Tionghoa, kamu harus berani!" kata Herman Sarens Soediro

Nasihat itu pula yang mendorong Ho Wan Moy, yang masih sangat belia saat itu, bergabung dengan Palang Merah Indonesia dan Laskar Wanita Indonesia. Awalnya Ho Wan Moy menjadi penunjuk jalan bagi pejuang dari Jakarta ke tempat-tempat persembunyian di pegunungan Banjar. Lalu belajar merawat pejuang yang terluka dan kemudian menangani logistik para tentara sekaligus menjadi mata-mata.

Dua hari sekali Ho Wan Moy menempuh hampir 20 km perjalanan melewati gunung yang sangat terjal dengan berjalan kaki, untuk membeli bahan-bahan makanan. Awalnya semua isi gudang beras dan singkong milik Ibu dan Neneknya disumbangkan untuk para gerilyawan. Namun, ketika persediaan sudah habis, terpaksa dia sembunyi-sembunyi belanja ke kota dengan resiko ditangkap Belanda. Karena Ho Wan Moy orang Tionghoa jadi pasukan Belanda tidak curiga. Dalam perjalanan belanja itu, Ho Wan Moy sengaja melewati pos-pos penjagaan Belanda, untuk mencatat jumlah tentara yang berjaga.

Saat ditemui pada perayaan ulang tahun perkawinan ke-50 di awal 2008, teman-teman veteran Ho Wan Moy dengan tulus mengakui sumbangsih dan keberaniannya,

"Dia ikut melahirkan Indonesia dengan darah dan air mata. Dia adalah Srikandi Indonesia!"

Atas dedikasinya, Ho Wan Moy menerima penghargaan Bintang Gerilya dan Bintang Veteran! Sayangnya literatur tentang sosok Ho Wan Moy tidak banyak. Di artikel-artikel tentang Laskar Wanita Indonesia, juga tidak ditemukan sosok Ho Wan Moy. Hal ini bisa saja terjadi karena ada upaya sistemik untuk menghapus narasi tentang kontribusi orang Tionghoa dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Padahal, Republik ini dibangun di atas air mata, keringat dan air mata segenap rakyatnya tanpa membeda-bedakan suku dan agama.

Sosok Ho Wan Moy mengajarkan banyak hal. Selain melawan penjajah, Ho Wan Moy juga melawan dirinya sendiri. Entitas perempuan Tionghoa tidak menghalangi niatnya untuk ikut merebut kemerdekaan.

Kini di usianya yang tak lagi muda, Ho Wan Moy berpesan agar generasi muda untuk tidak menyerah menjaga persatuan Indonesia, sebagaimana yang dikutip Lisa Soeroso dalam blognya,

"Generasi muda janganlah menganggap enteng kemerdekaan yang kini dirasakan. Kita harus melampaui perpecahan karena masalah suku, agama, ras dan antar kelompok. Jangan ada kata menyerah untuk persatuan Indonesia"

Kalau ada yang punya referensi tentang sosok Ho Wan Moy dan pejuang lainnya yang luput dari catatan sejarah, share di kolom komentar ya! Baca juga cerita tentang Nyonya Auw Tjoei Lan, Sang Kartini Tionghoa. 

Komentar

  1. Bangsa kita bukan hanya kaya alamnya, kita juga kaya akan budaya dan suku, jadikan itu kekuatan bukan perpecahan, apa yang bisa kita berikan bagi negeri tercinta kita? Jayalah Indonesia

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eddie Lembong, Penggagas Penyerbukan Silang Budaya Meninggal Dunia

Sejarah Pedasnya Cabai di Indonesia

Begini Rasanya Bekerja di Komnas Perempuan